animasi bergerak

Kamis, 15 Desember 2016

ILMU SOSIAL POSITIVISTIC DAN ILMU SOSIAL HERMENEUTIK

ILMU SOSIAL POSITIVISTIC DAN ILMU SOSIAL HERMENEUTIK
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Dakwah
Dosen Pengampu : Drs. Kasmuri, M.Ag
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/81/Logo_uin_walisongo.png/250px-Logo_uin_walisongo.png
Disusun Oleh :
Ainur Rohmah (1501036001)
Devi Rahmayanti (1501036003)
Umi Marwati (1501036039)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu keislaman merupakan hasil kerja ilmuan dalam memahami dan memecahkan persoalan yang ada dan berkembang yang dihadapi oleh umat manusia. Ketika para ilmuan (ulama) mengembangkan ilmu-ilmu yang menjadi perhatiannya, maka ia tidak bisa melepaskan diri dari situasi yang ada disekitarnya. Dengan kata lain ilmu-ilmu keislaman tidak bisa dipungkiri merupakan produk interaksi ulama dengan lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang berkembang dengan masa tertentu. Ilmu-ilmu keislaman dengan demikian terikat oleh dimensi waktu dan tempat dimana ilmu itu lahir dan berkembang.
Seperti halnya dalam ilmu filsafat yaitu dengan adanya positivisme dan hermeunitika. Berkaitan dengan ini kami akan membahas tentang pengertian dn kedudukan ilmu sosial posivistic dan ilmu sosial hermeunitic.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Ilmu sosial posivistic dan ilmu sosial hermeunitic?
2.      Apa kedudukan ilmu-ilmu sosial posivistic dan ilmu-ilmu sosial hermeunitic?
3.      Bagaimana penegasan ayat-ayat Al-Quran tentang ilmu positivistic dan ilmu sosial hermeunitic.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Sosial Posivistic dan Ilmu Sosial Hermeneutic
1.      Pengertian Ilmu Sosial Posivistic
Kemunculan filsafat positivisme dalam kancah pemikiran filsafat modern secara umum berasal dari Auguste Comte, seorang filsuf Perancis yang hidup antara tahun 1798-1857 M. Filsafat Positivisme  adalah filsafat yang berorientasi pada realitas dan menolak pembahasan mengenai sesuatu yang ada di balik realitas, dengan dasar bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui entitas apapun yang melintasi alam iderawi (persepsi) dan alam kasat mata.[1]
Postivisme adalah pendekatan filsafat ilmu yang menggunakan data empirik faktual, received view sebagai data dasar untuk analisis dan pembuatan kesimpulan. Pada abad 18M pendekatan tersebut digunakan utuk IPA, dan dikembangkan dengan logika matematika induktif untuk menguji relevansi antar jenis. Pada abad 19M pendekatan positivisme data empirik faktual digunakan untuk ilmu sosial dan humaniora menggunakan postivisme pendekatan kualitatif dengan teori budaya universalisme dan teori partikularisme historis. Pada abad 20M pendekatan kualitatif ilmu sosial dan humaniora menggunakan pendekatan rasional empirik faktual dengan beragam teori ilmu sosial.
Positivisme sosial merupakan penjabran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. Tokoh posiitvisme sosial adalah August Comte (abad 19 M). Positisne sosial mengembangkan ilmu terutama untuk mengembangkan organisasi sosial.[2] Positivisme comte hanya menerima pengetahuan faktual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu. Istilah “positif” kerap digunakan dalam tulisan Comte, yang maksudnya sama dengan filsafat positivismenya. Fakta positivis adalah “fakta real” atau “yang nyata”. Hal positif (a positive fact) adalah sesuatu yang dapat diuji atau diverifikasi oleh setiap orang (yang mau membuktikannya).
2.      Pengertian Ilmu Sosial Hermeneutic
Istilah Hermeunitic berasal dari bahasa Yunani, hermeunein, yang berarti menasirkan. Card Breaten lalu mendefinisikan hermeunitika sebagai the science of reflecting on how a word or an event in a past time and culture may understand and becomse existentially meaningful in our present situation (ilmu yang merefleksikan tentang sesuatu kata atau event yang ada pada masa lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam konteks kekinian). Jadi, hermeuitika berusaha menafsirkan teks atau event dimasa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia. Hermeunitika sendiri merupakan tradisi berpikir yang berorientsi pada teks. Hermeunitika merupakan pertemuan dengan pengetahaun sejarah universal, sebuah universalisasi individu.
Secara simbolis, istilah hermeunitika seringkali diasosiasikan dengan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Dalam melaksanakan tugas itu, Hermes dituntut untuk mengubah apa yang semula berada diluar wilayah pemahaman manusia kedalam formula yang dapat dipahami manusia. Dalam hermeunitika dkembangkan sikap kritis-rasional terhadap teks dan aspek-aspek yang mengitari teks seperti pengarang dan pembaca.
Hermeunitika memandang teks bukan sebagai realitas transenden yang terlepas dari dimensi keduniawian, sebaliknya ia memandang teks sebagai relitas yang bersentuhan langsug dengan dunia sosial sehinga berlangsung proses dialektika antara teks dan konteks.[3] Istilah hermeneutika secara longgar dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interpretasi makna. Dengan menggunakan Webster Dictionary, istilah ini terungkap pula dalam bahasa Inggris hermeneutics yang berarti ilmu penafsiran, atau menangkap makna kata-kata dan ungkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain.[4]
Hermes bertugas menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Alympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Disinilah fungsi signifikan hermes: ia harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya, dalam hal ini umat manusia. Sejak  saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara pesan itu disampaikan. Menurut Seyyed Hossein Nasr, Hermes adalah Nabi Idris yang disebut sebagai “Bapak para filsuf” (Father of Philosophers-Abu’I Hukama’) yang menyampaikan pesan-pesan Tuhan baik dalam gnostik (ma’rifah atau irfan) maupun aspek-aspek filsafat atau teosof (al-Hikmah). Sementara itu, istilah hermeneutik yang diasosiasikan kepada Hermes sebagai pembawa pesan, dalam perspektif Richard L.Palmer merangkum tiga bentuk makna dasar. Pertama, adalah mengekspresikan (to express), menegaskan (to assert), atau mengatakan(to say). Di sini, seorang pembawa pesan bukan hanya menjelaskan tetapi juag mendeklarasikan (to proclaim). Kedua, adalah menjelaskan (to explain). Artinya, hal yang terpenting bukanlah mengatakan sesuatu saja, melainkan menjelaskannya, merasionalisasikannya serta menjadikan jelas dan terpahami (make it clear). Ketiga, dalah menerjemahkan (to translate) yang maknanya identik dengan menafsirkan (to interpate). Menerjemahkan dalamarti, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami kedalam media bahasanya sendiri.
Dengan uraian arti diatas, terlihat jelas bahwa hermeneutik mencakup makna yang luas. Bukan sekedar pemahaman karakter dan kondisi-kondisi tertentu dimasa silam, melainkan juga merupakan usaha menjembatani ruang pemisah antara masa lalu dan masa kini. Dalam hermeneutik juga mengasumsikan terjadi dialog triadik antara the world of the text, the world of author and the world of reader atau si penafsir. Karena itu, cukup representatif kiranya bila secara umum hermeneutik dipandang sebagai seni menafsirkan atau memahami teks (the art of interpretation/understanding), dalam sebuah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (the process of bringing to understanding).[5]
B.     Kedudukan ilmu-ilmu sosial posivistic dan ilmu-ilmu sosial hermeunitic
1.      Kedudukan ilmu sosial Positivistic
a.       Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah untuk menemukan hukum-hukum pada fenomena sosial.
b.      Pandangan esensialisme tentang realitas sebagai fakta yang dapat dibuktikan secara empiris.
c.       Manusia adalah makhluk rasional, dan individu yang memiliki ciri seperti “binatang”.
d.      Tindakan individu adalah tindakan yang deterministik. Ilmu pengetahuan berbeda dan lebih superior dari bentuk pengetahuan lain.
e.       Penjelasan ilmiah berupa perumusan hukum sebagai hasil penalaran deduktif atau deduktif-nomologis. Penjelasan ilmiah terbuka untuk dibuktikan oleh peneliti lainnya.
f.       Ilmu pengetahuan sosial memerlukan pembuktian yang disepakati oleh komunitas ilmuwan.
g.      Orientasi instrumental dalam ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh perspektif teknokratis yang ada dalam ilmu pengetahuan.
h.      Ilmu pengetahuan haruslah bebas dari nilai-nilai dan obyektif.
2.      Kedududukan Hermeneutic
Lingkaran hermeunitic yang terjadi dalam proses penafsiran yang dilakukan ilmu ilmu sosial, sebenarnya merupakan cara bagaimana praksis komunikasi didalam masyarakat dilakukan, dan ilmu-ilmu sosial menempati salah satu tahap pemahaman diri masyarakat atas praksisnya karena praksis sejati dalam hubungan-hubungan komunikatif bertujuan untuk mencapai pemahaman timbal balik, ilmu-ilmu sosial memainkan peranannya untuk mengangkat proses pencapain pmahaman timbal balik ini ketaraf rasional dan reflektif. Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial memainkan peranan salah satu kehidupan yaitu komunikasi sosial untuk mencapai saling pemahaman dalam masyarakat.[6] Berikut kedudukan hermeneutic :
1.      Hermeneutik sebagai metodologi filosofis. Dalam perjalannya kemudian, pada abad ke 17 dan 18, hermeneutika dipakai untuk menafsir teks-teks klasik (yunani dan romawi) disamping kitab suci. Hermeneutika dalam tradisi barat pada abad ke 18, muncul 2 madzhab, yaitu madzab hermeneutka trancendental dan madzab historis psikologis. Yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketia tampil dalam teks .
Yang terakhir berpandangan bahwa  teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidka mungkin terwadahi secara representatif oleh kehadiran teks. Hermeneutika sebagai metodologi filologis ini  bisa dilihat dalam karya pedoman hermeneutik yang ditulis Ernesti pada tahun 1761. Ia menyatakan bahwa pengertian verbal kitab suci harus diterminasikan dengan cara yang sama ketika kita mengetahui hal tersebut pada karya lain.
2.      Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Baru pada akhir abad ke 18 sekaligus menjelang awal abad ke 19, Friedrich Schleiermacher berusaha memasukan pertimbangan epistemologis kedalam wacana metodologis sebagai pendekatan pertama dalam sejarah hermeneutika. Dengan kata lain Schleiermacher merupakan seorang perintis pemikiran tentang hermeneutika filsafati karena mengangkat masalah pemahaman sebagai masalah spesifik.
Keterbatasan hermeneutika, linguistik historikal hermeneutika teologis dilampaui dan hermeneutika direkonsepsikan Schleiermacher sebagai suatu masalah principil bagi. “Die Rede”, diskursus, yakni bagi pemikiran yang diungkapkan kedalam tanda-tanda, lisan atau tertulis, dalam usaha menghindari salah faham. Hermeneutika, bukan lagi menjadi monopoli disiplin tertentu, seperti sastra, hukum, atau teologi. Dalam perkembangan selanjutnya wacana hermeneutika Schleiermacher tersebut dinamakan sebagai hermeneutik romantic atau masuk dalam kategori hermeneutika teoritis.
3.      Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Will Helm Dilthey merupakan salah satu filsuf besr pada akhir abad ke 19 yang mewakili cara kerja hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Bagi Dilthey, hermeneutika merupakan inti disiplin metodologi yang dapat melayani sebagai fondasi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang mencakup semua disiplin ilmu yang memfokuskan pada ranah pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia. Dalam fase ini, Dilthey membedakan dengan tajam antara naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dengan geisteswissenschaften atau ilmu penegtahuan tentang manusia. Dilthey mencoba menawarkan metode Erklaren untuk ilmu-ilmu alam dan verstehen terhadap ilmu-ilmu sosial. Jika Erklaren adalah menjelaskan, yakni menjelaskan fenomena alam menurut hukum sebab akibat (kausalitas), maka verstehen ialah memahami dalam arti menemukan dan memahami makna tindakan-tindakan sosial. Verstehen merupakan suatu metode untuk memahami objek penelitian melalui insight,einfuehlung serta empathy dalam menangkap dan memahami makna kebudayaan manusia, nilai-nilai, simbol-simbol, pemikiran-pemikiran serta kelakuan manusia yang memiliki sifat ganda.
4.      Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Level ini diwakili oleh Martin Heidegger, dan Murid cemerlangnya Hans-Georg Gadamer. Martin Heidegger, dalam menghadapi persoalan ontologis, meminjam metode fenomenologis dari gurunya, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologi terhadap cara berada keseharian manusia didunia. Studi ini sekarang diakui sebagai masterwork-nya dan sebagai kunci memahami secara jelas pemikirannya. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being and Time (1927), sebagai “hermeneutika Dasein.[7]
C.        Penegasan Ayat
1.      Dalam tradisi pemikiran islam, intensitas perbincangan mengenai hermeunitika dalam islam tidak semarak yan berlangsung dalam tradisi kristen dan Yahudi. Kenyataan ini berlaku pada masa Nabi dan sahabat. Pada masa itu, pemahaman dan pengalaman agama atas dasar kebijakan belum sepenuhnya dikenal
2.      فولذي نفسي بيده   HR Bukhari Ibn Al-Tiin berkata bahwa ketika sebuah hadits Nabi SAW menggunakan redaksi sumpah  فولذي نفسي maka menunjukkan bahwa hadits tersebut sahih. Perkataan dari Rasulullah SAW dilanjutkan dengan agar didapatkan pemahaman yang profesional dan komprehensif, penulis menggunakan metode pemahaman Hermeneutik. Dengan memperhatikan redaksi hadits yang variatif sebagaimana yang tertera diatas maka dapat diketahui bahwa hadits tentang kecintaan kepada rasulullah SAW tersebut diriwayatkan secara makna (alriwayah bi al makna)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Postivisme adalah pendekatan filsafat ilmu yang menggunakan data empirik faktual, received view sebagai data dasar untuk analisis dan pembuatan kesimpulan. Hermeneutik merupakan seni atau ilmu yang berkaitan erat dengan pemahaman dan penafsiran
Kedudukan positivistic yaitu sebagai hukum-hukum pada fenomena sosial. Sedangkan kedudukan hermeneutic yaitu sebagai metodologi filosofis, sebagai ilmu pemahaman linguistik, sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan, dan sebagai fenomenologi desain dan pemahaman eksistensial.



[1] Fuad Farid Ismail, Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hlm 136
[2] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : PT Rake Sarasin,2006), hlm.100
[3]Ilyas Supen,Desain Ilmu-ilmu Keislaman,(Semarang : Walisongo Press,2008),hlm.14
[4]Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2015),hlm244
[5] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2015),hlm245-246
[6]Ilyas Supen,Desain Ilmu-ilmu Keislaman,(Semarang : Walisongo Press,2008),hlm.40
[7] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2015),hlm 247-249
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar