ILMU SOSIAL POSITIVISTIC DAN ILMU SOSIAL HERMENEUTIK
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Filsafat
Dakwah
Dosen
Pengampu : Drs. Kasmuri, M.Ag
Disusun
Oleh :
Ainur
Rohmah (1501036001)
Devi
Rahmayanti (1501036003)
Umi
Marwati (1501036039)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu keislaman
merupakan hasil kerja ilmuan dalam memahami dan memecahkan persoalan yang ada
dan berkembang yang dihadapi oleh umat manusia. Ketika para ilmuan (ulama)
mengembangkan ilmu-ilmu yang menjadi perhatiannya, maka ia tidak bisa
melepaskan diri dari situasi yang ada disekitarnya. Dengan kata lain ilmu-ilmu
keislaman tidak bisa dipungkiri merupakan produk interaksi ulama dengan
lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang berkembang dengan masa
tertentu. Ilmu-ilmu keislaman dengan demikian terikat oleh dimensi waktu dan
tempat dimana ilmu itu lahir dan berkembang.
Seperti halnya dalam ilmu filsafat yaitu
dengan adanya positivisme dan hermeunitika. Berkaitan dengan ini kami akan
membahas tentang pengertian dn kedudukan ilmu sosial posivistic dan ilmu sosial
hermeunitic.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
Ilmu sosial posivistic dan ilmu sosial hermeunitic?
2.
Apa kedudukan
ilmu-ilmu sosial posivistic dan ilmu-ilmu sosial hermeunitic?
3.
Bagaimana
penegasan ayat-ayat Al-Quran tentang ilmu positivistic dan ilmu sosial hermeunitic.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Sosial Posivistic dan Ilmu Sosial
Hermeneutic
1.
Pengertian
Ilmu Sosial Posivistic
Kemunculan filsafat positivisme dalam kancah pemikiran
filsafat modern secara umum berasal dari Auguste Comte, seorang filsuf Perancis
yang hidup antara tahun 1798-1857 M. Filsafat Positivisme adalah filsafat yang berorientasi pada
realitas dan menolak pembahasan mengenai sesuatu yang ada di balik realitas,
dengan dasar bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui
entitas apapun yang melintasi alam iderawi (persepsi) dan alam kasat mata.[1]
Postivisme
adalah pendekatan filsafat ilmu yang menggunakan data empirik faktual, received
view sebagai data dasar untuk analisis dan pembuatan kesimpulan. Pada abad
18M pendekatan tersebut digunakan utuk IPA, dan dikembangkan dengan logika
matematika induktif untuk menguji relevansi antar jenis. Pada abad 19M
pendekatan positivisme data empirik faktual digunakan untuk ilmu sosial dan
humaniora menggunakan postivisme pendekatan kualitatif dengan teori budaya
universalisme dan teori partikularisme historis. Pada abad 20M pendekatan
kualitatif ilmu sosial dan humaniora menggunakan pendekatan rasional empirik
faktual dengan beragam teori ilmu sosial.
Positivisme
sosial merupakan penjabran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah.
Tokoh posiitvisme sosial adalah August Comte (abad 19 M). Positisne sosial
mengembangkan ilmu terutama untuk mengembangkan organisasi sosial.[2] Positivisme comte hanya menerima pengetahuan
faktual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu.
Istilah “positif” kerap digunakan dalam tulisan Comte, yang maksudnya sama dengan
filsafat positivismenya. Fakta positivis adalah “fakta real” atau “yang nyata”.
Hal positif (a positive fact) adalah sesuatu yang dapat diuji atau diverifikasi
oleh setiap orang (yang mau membuktikannya).
2.
Pengertian
Ilmu Sosial Hermeneutic
Istilah
Hermeunitic berasal dari bahasa Yunani, hermeunein, yang berarti
menasirkan. Card Breaten lalu mendefinisikan hermeunitika sebagai the
science of reflecting on how a word or an event in a past time and culture may
understand and becomse
existentially meaningful in our present situation (ilmu yang
merefleksikan tentang sesuatu kata atau event yang ada pada masa lalu untuk
dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam konteks kekinian).
Jadi, hermeuitika berusaha menafsirkan teks atau event dimasa lalu yang masih
abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia. Hermeunitika sendiri
merupakan tradisi berpikir yang berorientsi pada teks. Hermeunitika merupakan pertemuan
dengan pengetahaun sejarah universal, sebuah universalisasi individu.
Secara
simbolis, istilah hermeunitika seringkali diasosiasikan dengan Dewa Hermes
dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada
manusia. Dalam melaksanakan tugas itu, Hermes dituntut untuk mengubah apa yang
semula berada diluar wilayah pemahaman manusia kedalam formula yang dapat
dipahami manusia. Dalam hermeunitika dkembangkan sikap kritis-rasional terhadap
teks dan aspek-aspek yang mengitari teks seperti pengarang dan pembaca.
Hermeunitika
memandang teks bukan sebagai realitas transenden yang terlepas dari dimensi
keduniawian, sebaliknya ia memandang teks sebagai relitas yang bersentuhan
langsug dengan dunia sosial sehinga berlangsung proses dialektika antara teks
dan konteks.[3] Istilah hermeneutika secara longgar dapat
didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interpretasi makna.
Dengan menggunakan Webster Dictionary, istilah ini terungkap pula dalam bahasa
Inggris hermeneutics yang berarti ilmu penafsiran, atau menangkap makna
kata-kata dan ungkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain.[4]
Hermes bertugas menerjemahkan
pesan-pesan
dari dewa di Gunung Alympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat
manusia. Disinilah fungsi signifikan hermes: ia harus mampu menginterpretasikan
atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya,
dalam hal ini umat manusia. Sejak saat
itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi
tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara pesan itu
disampaikan. Menurut Seyyed Hossein Nasr, Hermes
adalah Nabi Idris yang disebut sebagai “Bapak para filsuf” (Father of
Philosophers-Abu’I Hukama’) yang menyampaikan pesan-pesan Tuhan baik dalam
gnostik (ma’rifah atau irfan) maupun aspek-aspek filsafat atau teosof
(al-Hikmah). Sementara itu, istilah hermeneutik yang diasosiasikan kepada
Hermes sebagai pembawa pesan, dalam perspektif Richard L.Palmer merangkum tiga
bentuk makna dasar. Pertama, adalah mengekspresikan (to express),
menegaskan (to assert), atau mengatakan(to say). Di sini, seorang pembawa pesan
bukan hanya menjelaskan tetapi juag mendeklarasikan (to proclaim). Kedua, adalah
menjelaskan (to explain). Artinya, hal yang terpenting bukanlah mengatakan
sesuatu saja, melainkan menjelaskannya, merasionalisasikannya serta menjadikan
jelas dan terpahami (make it clear). Ketiga, dalah menerjemahkan (to
translate) yang maknanya identik dengan menafsirkan (to interpate).
Menerjemahkan dalamarti, seseorang
membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami kedalam media bahasanya
sendiri.
Dengan uraian arti diatas, terlihat jelas
bahwa hermeneutik mencakup makna yang luas. Bukan sekedar pemahaman karakter
dan kondisi-kondisi tertentu dimasa silam, melainkan juga merupakan usaha
menjembatani ruang pemisah antara masa lalu dan masa kini. Dalam hermeneutik
juga mengasumsikan terjadi dialog triadik antara the world of the text, the
world of author and the world of reader atau si penafsir. Karena itu, cukup
representatif kiranya bila secara umum hermeneutik dipandang sebagai seni
menafsirkan atau memahami teks (the art of interpretation/understanding), dalam
sebuah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (the
process of bringing to understanding).[5]
B. Kedudukan ilmu-ilmu sosial posivistic dan
ilmu-ilmu sosial hermeunitic
1.
Kedudukan ilmu
sosial Positivistic
a.
Tujuan ilmu
pengetahuan sosial adalah untuk menemukan hukum-hukum pada fenomena sosial.
b.
Pandangan
esensialisme tentang realitas sebagai fakta yang dapat dibuktikan secara
empiris.
c.
Manusia adalah
makhluk rasional, dan individu yang memiliki ciri seperti “binatang”.
d.
Tindakan
individu adalah tindakan yang deterministik. Ilmu pengetahuan berbeda dan lebih
superior dari bentuk pengetahuan lain.
e.
Penjelasan
ilmiah berupa perumusan hukum sebagai hasil penalaran deduktif atau
deduktif-nomologis. Penjelasan ilmiah terbuka untuk dibuktikan oleh peneliti
lainnya.
f.
Ilmu
pengetahuan sosial memerlukan pembuktian yang disepakati oleh komunitas
ilmuwan.
g.
Orientasi
instrumental dalam ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh perspektif teknokratis
yang ada dalam ilmu pengetahuan.
h.
Ilmu
pengetahuan haruslah bebas dari nilai-nilai dan obyektif.
2.
Kedududukan Hermeneutic
Lingkaran
hermeunitic yang terjadi dalam proses penafsiran yang dilakukan ilmu ilmu
sosial, sebenarnya merupakan cara bagaimana praksis komunikasi didalam
masyarakat dilakukan, dan ilmu-ilmu sosial menempati salah satu tahap pemahaman
diri masyarakat atas praksisnya karena praksis sejati dalam hubungan-hubungan
komunikatif bertujuan untuk mencapai pemahaman timbal balik, ilmu-ilmu sosial
memainkan peranannya untuk mengangkat proses pencapain pmahaman timbal balik
ini ketaraf rasional dan reflektif. Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial memainkan
peranan salah satu kehidupan yaitu komunikasi sosial untuk mencapai saling
pemahaman dalam masyarakat.[6] Berikut kedudukan hermeneutic :
1. Hermeneutik sebagai metodologi filosofis.
Dalam perjalannya kemudian, pada abad ke 17 dan 18, hermeneutika dipakai untuk
menafsir teks-teks klasik (yunani dan romawi) disamping kitab suci.
Hermeneutika dalam tradisi barat pada abad ke 18, muncul 2 madzhab, yaitu
madzab hermeneutka trancendental dan madzab historis psikologis. Yang pertama
berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus
mengaitkan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketia
tampil dalam teks .
Yang terakhir berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer
saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan
tidka mungkin terwadahi secara representatif oleh kehadiran teks. Hermeneutika
sebagai metodologi filologis ini bisa
dilihat dalam karya pedoman hermeneutik yang ditulis Ernesti pada tahun 1761.
Ia menyatakan bahwa pengertian verbal kitab suci harus diterminasikan dengan
cara yang sama ketika kita mengetahui hal tersebut pada karya lain.
2.
Hermeneutika
sebagai ilmu pemahaman linguistik. Baru pada akhir abad ke 18 sekaligus
menjelang awal abad ke 19, Friedrich Schleiermacher berusaha memasukan
pertimbangan epistemologis kedalam wacana metodologis sebagai pendekatan
pertama dalam sejarah hermeneutika. Dengan kata lain Schleiermacher merupakan
seorang perintis pemikiran tentang hermeneutika filsafati karena mengangkat
masalah pemahaman sebagai masalah spesifik.
Keterbatasan hermeneutika, linguistik
historikal hermeneutika teologis dilampaui dan hermeneutika direkonsepsikan
Schleiermacher sebagai suatu masalah principil bagi. “Die Rede”, diskursus,
yakni bagi pemikiran yang diungkapkan kedalam tanda-tanda, lisan atau tertulis,
dalam usaha menghindari salah faham. Hermeneutika, bukan lagi menjadi monopoli
disiplin tertentu, seperti sastra, hukum, atau teologi. Dalam perkembangan
selanjutnya wacana hermeneutika Schleiermacher tersebut dinamakan sebagai
hermeneutik romantic atau masuk dalam kategori hermeneutika teoritis.
3.
Hermeneutika
sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Will Helm Dilthey
merupakan salah satu filsuf besr pada akhir abad ke 19 yang mewakili cara kerja
hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Bagi
Dilthey, hermeneutika merupakan inti disiplin metodologi yang dapat melayani
sebagai fondasi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang mencakup semua disiplin ilmu
yang memfokuskan pada ranah pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia. Dalam
fase ini, Dilthey membedakan dengan tajam antara naturwissenschaften atau
ilmu pengetahuan tentang alam dengan geisteswissenschaften atau ilmu
penegtahuan tentang manusia. Dilthey mencoba menawarkan metode Erklaren untuk
ilmu-ilmu alam dan verstehen terhadap ilmu-ilmu sosial. Jika Erklaren adalah
menjelaskan, yakni menjelaskan fenomena alam menurut hukum sebab akibat
(kausalitas), maka verstehen ialah memahami dalam arti menemukan dan memahami
makna tindakan-tindakan sosial. Verstehen merupakan suatu metode untuk memahami
objek penelitian melalui insight,einfuehlung serta empathy dalam
menangkap dan memahami makna kebudayaan manusia, nilai-nilai, simbol-simbol,
pemikiran-pemikiran serta kelakuan manusia yang memiliki sifat ganda.
4.
Hermeneutika
sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Level ini
diwakili oleh Martin Heidegger, dan Murid cemerlangnya Hans-Georg Gadamer.
Martin Heidegger, dalam menghadapi persoalan ontologis, meminjam metode
fenomenologis dari gurunya, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologi
terhadap cara berada keseharian manusia didunia. Studi ini sekarang diakui
sebagai masterwork-nya dan sebagai kunci memahami secara jelas pemikirannya.
Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being and Time
(1927), sebagai “hermeneutika Dasein.[7]
C.
Penegasan Ayat
1.
Dalam tradisi
pemikiran islam, intensitas perbincangan mengenai hermeunitika dalam islam
tidak semarak yan berlangsung dalam tradisi kristen dan Yahudi. Kenyataan ini
berlaku pada masa Nabi dan sahabat. Pada masa itu, pemahaman dan pengalaman
agama atas dasar kebijakan belum sepenuhnya dikenal
2.
فولذي نفسي
بيده HR Bukhari Ibn Al-Tiin berkata bahwa ketika
sebuah hadits Nabi SAW menggunakan redaksi sumpah فولذي نفسي maka
menunjukkan bahwa hadits tersebut sahih. Perkataan dari Rasulullah SAW
dilanjutkan dengan agar didapatkan pemahaman yang profesional dan komprehensif,
penulis menggunakan metode pemahaman Hermeneutik. Dengan memperhatikan redaksi
hadits yang variatif sebagaimana yang tertera diatas maka dapat diketahui bahwa
hadits tentang kecintaan kepada rasulullah SAW tersebut diriwayatkan secara
makna (alriwayah bi al makna)
BAB III
PENUTUP
Postivisme
adalah pendekatan filsafat ilmu yang menggunakan data empirik faktual, received
view sebagai data dasar untuk analisis dan pembuatan kesimpulan. Hermeneutik
merupakan seni atau ilmu yang berkaitan erat dengan pemahaman dan penafsiran
Kedudukan positivistic yaitu sebagai hukum-hukum
pada fenomena sosial. Sedangkan kedudukan hermeneutic yaitu sebagai metodologi
filosofis, sebagai ilmu pemahaman linguistik, sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu
kemanusiaan, dan sebagai fenomenologi desain
dan pemahaman eksistensial.
[1] Fuad Farid Ismail, Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar
Filsafat, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hlm 136
[3]Ilyas Supen,Desain Ilmu-ilmu Keislaman,(Semarang
: Walisongo Press,2008),hlm.14
[4]Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2015),hlm244
[5] Zaprulkhan,
Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2015),hlm245-246
[6]Ilyas Supen,Desain Ilmu-ilmu Keislaman,(Semarang
: Walisongo Press,2008),hlm.40
[7] Zaprulkhan,
Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2015),hlm 247-249
Tidak ada komentar:
Posting Komentar