animasi bergerak

Jumat, 09 Desember 2016

KONSEP PEMERINTAHAN ZAMAN NABI MUHAMMAD SAW



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masa kenabian merupakan masa yang awal dari sejarah Islam, dan semenjak Rasulullah memulai dakwahnya sampai beliau wafat yang dinamakan masa itu dengan masa kenabian atau masa wahyu, mengingat ciri-ciri yang membedakannya dari masa-masa yang lain, adalah masa yang ideal, yang di masa itulah puncak berwujudnya keagungan Islam. Masa kenabian itu, terbagi kepada dua periode yang dipisahkan oleh hijrah. Dalam pada itu tidak ada di antara kedua fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang pertama, adalah sebagai perintis jalan bagi yang kedua.
Bagi umat islam, semua aspek kehidupan Nabi Muhammad SAW yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrirnya yang disebut Sunnah-baik dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan Rosulullah, pribadi, kepala rumah tangga, tokoh masyarakat, komandan perang, maupun sebagai imam atau pemimpin umat adalah sumber hokum atau rujukan umat yang paling otoritatif dalam semua aspek kehidupan termasuk dibidang politik dan ketatanegaraan, di samping al-Quran. Menampilkan dimensi kehidupan Nabi Muhammad sangat penting. Dimensi ketatanegaraan dan pemerintah Nabi Muhammad yang menjadi titik fokus pada bagian ini, sesungguhnya dan pada kenyataannya bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan aspek-aspek lainnya. Hanya memfokuskan pada dimensi ketatanegaraan dan pemerintahan, aspek-aspek lain banyak yang terabaikan atau terlewatkan. Dengan maksud menyederhanakan secara garis besar.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana fase pembentukan pemerintahan/Negara?
2.      Periode apa saja dalam ketatanegaraan pada masa Rosulullah SAW?
3.      Apa saja praktek ketatanegaraan zaman Nabi Muhammad SAW?
4.      Apa prinsip-prinsip dan Unsur-Unsur Kepemimpinan?
5.      Apa saja faktor-faktor penyebab keberhasilan?
6.      Apa saja dasar atau dalil fiqh?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Fase Pembentukan Pemerintahan/Negara
Fiqh siyasah syar’iyyah telah dilaksanakan oleh Rasulallah saw. dalam mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial-budaya yang diridhai Allah swt.. Fakta itu tamapak sangat jelas setelah Rasulallah saw. melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa fakta yang sama tidak di temukan pada saat Rasulallah masih tinggal di Mekkah. Pada saat di Mekkah, Rasulallah lebih memusatkan perhatian atas “perencanaan” daripada “pelaksanaan” hal-hal yang berhubungan dengan fiqh siyasah syar’iyyah.[2]
Salah satu contoh pelaksanaan fiqh siyasah syar’iyyah adalah kebijakan yang dibuat Rasulallah saw. berkenaan dengan persaudaraan intern kaum muslimin (ukhuwah al-islamiyyah), maupun ekstern  antara kaum muslim dengan komunitas nonmuslim (ukhuwah al-insaniyyah). Sekalipun kendali kekuasaan dipegang oleh komunitas muslim dalam hal ini adalah Rasulallah saw., namun perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan komunitas nonmuslim. Dikarenakan Rasulallah saw., mendasarkan kebijakannya atas prinsip al-ukhuwah al-insaniyyah yang diwujudkan dalam Piagam Madinah.[3]Piagam ini juga menjamin kebebasan beragama dan kewajiban seluruh anggota masyarakat dalam memepertahankan negeri dari serangan luar.[4]
B.     Ketatanegaraan Zaman Nabi Muhammad SAW
1.      Islam Periode Makkah
Sistem sosial, politik dan ekonomi masyarakat Makkah dibangun diatas prinsip atau memiliki reevansi dengan agama mereka; paganisme atau penyembah berhala, dengan menempatkan al-latta, al-Uzza, dan Manat sebagai berhala utama. Bagi masyarakat Makkah, ada[5] kesatuan dan keterkaitan antara agama dengan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Kehadiran Nabi Muhammad di tengah masyarakat Makkah, dengan ajaran Islam yang didakwahkannya, yang menimbulkan kerisauan para pembesar Makkah sebenarnya bukan karena Muhammad menentang system sosial, politik dan pembagian jabatan an sich, tetapi dan yang terpenting adalah karena Muhammad akan memutus relevansi sosial, politik dan ekonomi dengan pondasinya yang salah dan tidak sejalan dengan fitrah manusia serta membawa petaka bagi umat manusia.
Ahmad Syalabi mengidentifikasi lima sebab penolakan orang-orang Quraisy terhadap ajaran islam;
a.       Persaingan berebut kekuasaan. Sejarah konflik perebutan kekuasaan atau jabatan. Mereka mengira bahwa dengan mengikuti ajakan Muhammad adalah identik dengan[6] penyerahan kekuasaan atau jabatan kepada Nabi Muhammad.
b.      Penyamaan hak antara kasta bangsawan dengan kasta hamba sahaya. Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang hidup berkasta-kasta. Stratifikasi sosial didasarkan pada capital, nasab dan jumlah pengikut, sehingga dikenal ada kasta bangsawan dengan hak-hak istimewanya, dan kasta rendahan dengan segala kehinaannya, sementara ajaran islam memproklamirkan bahwa semua manusia berkedudukan sama dan sederajat.
c.       Takut dibangkitkan. Bangsa Arab khususnya Makkah dikenal sebagai pedagang yang memandang kekayaan dan kapitalisme sebagai juru selamat. Sebagian besar mereka menjadikan materialism sebagai pandangan hidup. Akibatnya, tidak percaya kepada kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya, sementara ajaran islam periode awal justru banyak menginformasikan tentang kehidupan akhirat.
d.      Taqliq kepada nenek moyang. Agama paganisme yang dibawa Amr bin Luhayyi bin Qam’ah telah diwariskan dari generasi ke generasi tanpa sikap kritis, sehingga ketika ajaran islam diperkenalkan kepada mereka, mereka merasa asing dan menganggap tidak perlusaya berkata “Hasbuna ma wajadna”, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.
e.       Memperniagakan patung. Islam diturunkan dengan membawa ajaran tauhid sebagai asas utama, dan menolak semua yang bertentangan dengan asas ini. Bukan hanya menolak penyembahannya, tetapi juga mengharamkan transaksinya. Mereka yang menjadikan patung sebagai komoditas utama, tentu sangat keberatan ketika komoditas itu dilarang.[7]
Perjuangan Nabi Muhammad mendakwahkan islam di Mekkah rentang waktu 10 tahun tidak mengalami perkembangan signifikan, tidak banyak masyarakat yang tersadrakan dan mengikuti seruannya. Periode dakwah Nabi di Makkah adalah tahapan pembentukan pondasi melalui pembersihan keyakinan yang sudah berkarat bagi masyarakat Makkah. Membentuk instrument politik guna system sosial dan ekonomi yang adil dan manusiawi diatas pondasi yang belum kokoh adalah sebagai tindakan yang sia-sia.[8]
2.      Islam Periode Madinah
Rosulullah memilih kaum Aus dan Khazraj untuk memilih dua belas orang perwakilan kaumnya. Sesuai waktu yang ditentukan, Rosulullah disertai Abu Bakar hijrah menuju Yastrib, menyusul sahabat-sahabat lain secara diam-diam. Orang-orang kafir Quraisy mengetahui telah terjadi pertemuan antara Rosulullah dengan penduduk Yastrib dan mengetahui Rosulullah akan bergabung dengan mereka. Kafir Quraisy segera mengadakan rapat tertutup.[9] Hadir sekitar 100 tokoh. Dalam rapat, banyak usulan yang dilontarkan, usul Abu Jahal yang disepakati adalah agar memilih beberapa pemuda sebagai wakil dari beberapa suku untuk membunuh Nabi secara bersama-sama.
Para kafir Quraisy mengusir Muhammad agar tidak berada di Makkah, tetapi disisi lain mereka menghalangi kepergian Muhammad dan para sahabat ke Yastrib.[10]
Rosululah dan rombongan berangkat menuju Yastrib dengan menaiki seekor unta”al-Quswa”. Nabi membiarkan unta berjalan menjjrut kehendaknya.[11]
Rentang waktu tidak terlalu lama, terjadi perubahan drastis dan positf pada masyarakat Madinah yang selalu berperang dengan semangat dan hamper selalu membasahi tanah Arabia yang tandus dengan darah, dalam waktu relative cepat menjadi masyarakat yang siap bersanding dengan penuh ketulusan dan keakraban. Langkah Rosulullah selanjutnya setelah membangun masjid sebagai sentral aktifitas adalah memperkokoh persatuan dikalangan Muhajirin dan Anshar dengan cara mempersatukan mereka.[12]
Bulan keempat hijriyah, terjadi peristiwa merisaukan Muhammad dan para sahabat dan menjadi alat propaganda kaum munafiq serta memicu perang bersejarah; perang Badar.[13] Perang Badar merupakan peristiwa yang sangat menentukan dalam sejarah perjuangan Nabi dan dianggap sebagai perang “Furqon” yakni perang pemisahan antara yang haq dan yang bathil, antara kebenaran dan kesalahan, antara tauhid dengan syirik, serta antara islam dan kafir. Pahlawan perang Badar memperoleh kedudukan yang sangat istimewa dihadapan Allah, Rosulullah dan kaum Muslimin sepanjang masa.
3.      Nabi Muhammad, Piagam Madinah, dan Negara Islam
Kemenangan kaum Muslimin pada perang Badar telah menaikan prestise Nabi Muhammad dikalangan bangsa Arab, meski ditanggapi sinis oleh hipokrit Yahudi. Sebagai penguasa, Nabi Muhammad telah, sedang, dan akan mengambil berbagai langkah politik untuk keberlangsungan masyarakat Madinah.[14] Usai perang Badar, berbagai langkah ditempuh Nabi. Nabi adalah pemegang kekuasaan politik de facto dan de jure.[15]
Sejak awal-awal kehadiran di Madinah, Nabi Muhammad mengambil langkah-langkah politik yang sejalan dengan visi agamanya. Sistem kekuasaan dan ketentuan yang mengatur keberadaan rakyat di Madinah tertuang dalam dokumen Piagam Madinah. Piagam[16] dikategorikan sebagai undang-undang suatu Negara yang baru muncul, yang didalamnya mengatur kekuasaan politik, hak-hak manusia, pengelolaan urusan masyarakat.[17]
Piagam Madinah memberikan otonomi yang luas kepada suku-suku Madinah dan mengizinkan warga non-muslim untuk menjalankan keyakinannaya dan hidup berdampingan terhadap kaum muslimin. Tidak ada satu preseden sejarah yang menuunjukan Nabi Muhmmad pernah memaksa umat lain untuk menganut islam.[18]
Keberhasilan Rosulullah dan kaum muslimin memenangkan perang Badar, semakin bertambahnya umat Islam, terjalinnya persaudaraan Muhajirin dengan Anshar dan berhasil diwujudkannya peraturan masyarakat Madinah melalui piagam Madinah, bukan berarti perjuangan Nabi dan kaum muslimin telah selesai. Dalam sisa waktu sekitar delapan tahun kedepan dari kehidupan Rasulullah, berbagai peperangan masih ditemui dan dijalani Rasulullah dan kaum Muslimin dalam perjuangan menyebarkan risalah islam dan mereformasi umat manusia agar sesuai dengan rencana Tuhan.
Adapun peristiwa yang paling spektakuler dan monumental dari karir politik Nabi Muhammad adalah fathu Makkah atau pembebasan kota Makkah pada tahun 10 Hijriyah. Ketika itu Nabi Muhammad[19] berangkat menunaikan ibadah haji dengan disertai rombongan yang berjumlah 120.000 orang. Saat itu Rasulullah berada dalam puncak kekuasaan dan kemenangan, namun pada saat yang bersamaan Nabi juga berada dipuncak ketawadhuan dan kasih sayangnya. Di hadapannya berdiri dengan cemas dan tak berdaya orang Quraisy yang dulu menyakiti, memboikot, menganiaya, mengusir, dan memerangi Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Saat itu, jika Rasulullah mau, dengan hanya perintah sepatah kalimatpun ribuan pasukan Rasulullah akan dengan mudah membinasakan mereka,. Namun yang dilakukan Rasulullah adalah memberikan amnesti umum; “Pergilah, sekarang kamu sekalian bebas”. [20]
Dalam sejarah, Konstitusi Madinah sudah menunjukan cirri-ciri yang bisa terdapat pada konstitusi di dunia, yaitu adanya perubahan-perubahan terhadap konstitusi itu. Perubahan terjadi dalam dua bentuk:
a.       Amandemen-amandemen, yaitu perubahan-perubahan dilakukan terhadap pasal-pasal konstitusi itu, yang karena perkembangan masyarakat sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
b.      Pergantian, yaitu seluruh konstitusi itu sudah harus diganti dengan konstitusi yang baru yang sesuai dengan panggilan jaman dan sesuai dengan tuntunanrakyat banyak.[21]
C.     Praktek Ketatanegaraan Zaman Nabi Muhammad SAW
Praktek ketatanegaraan zaman Nabi Muhammad saw yang di jelaskan dalam bagian ini melihat secara keseluruhan periode kenabian yaitu masa Mekkah dan masa Madinah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, nabi menyebarkan agama islam di Mekkah selama 10 tahun, sedangkan di Madinah 13 tahun. Jika dibandingkan kedua masa tersebut, pengikut nabi dalam masa Makkah sangat sedikit bila dibandingkan dengan masa madinah.[22]
Pada masa Makkah posisi nabi adalah powerless (tidak mempunyai kekuasaan politik), sementara pada masa Madinah posisi nabi powerfull (memiliki kekuasaan politik).
Bukti-bukti sejarah dalam masa Kenabin Muhammad saw:
1.      Bukti sejarah 1 : Baiat Aqobah 1 dan II
Pada tahun kesebelas masa kenabian, terjadi suatu peristiwa yang tampaknya sederhana tapi kemudian ternyata merupakan titik awal lahirnya suatu era baru bagi islam dan juga bagi dunia. Kejadian tersebut adalah perjumpaan Nabi di Aqabah dengan enam orang dari suku khazraj, yatsrib, yang datang kemekah untuk haji. sebagai hasil perjumpaan, enam orang dari yatsrib tersebut masuk islam dengan memberikan kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Pada musim haji keduabelas masa kenabian, dua belas orang laki-laki dari yatsrib menemui nabi ditempat yang sama, Aqabah. selain mengaki kerasulan Nabi, masuk islam, juga berbaiat atau berjanji kepada nabi bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah.
Kemudian pada musim haji tahun berikutnya, sebanyak tujuh puluh tiga penduduk yatsrib yang sudah memeluk islam berkunjung ke Mekah. Mereka mengundang nabi untuk hijrah ke yatsrib dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu di tempat yang sama, yaitu Aqabah.
Dari peristiwa baiat Aqabah 1 dan II tersebut menunjukan fakta bahwa antara nabi dan penduduk yatsrib telah terjadi “pakta persekutuan” atau “kontrak sosial” dalam pengertian ilmu politik.
2.      Bukti sejarah 2 : Hijrah dari Mekah kemadinah sebagai strategi konsolidasi politik
Berdasarkan kedua baiat tersebut, Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk berhijrah ke yatsrib pada akhir tahun itu juga. beberapa bulan kemudian Nabi sendiri berhijrah bergabung dengan mereka.[23] Peristiwa hijrah ini di rekam dalam wahyu, dan memuji mereka yang berhijrah (QS. 2:28 dan QS 16:41,10). Menurut Thomas W Arnold (1965 :23) dalam pulungan (1995:79) peristiwa hijrah ini dinilai sebagai “suatu gerakan strategi yang jitu”. Hal tersebut ditandai dengan aktivitas Nabi yang menetap di Yatsrib yang kemudian di rubah menjadi kota madinah.
Aktivitas Nabi yang pertama dan utama adalah mendirikan masjid Quba, dan menata kehidupan social politik masyarakat madinah yang majemuk sebagai bentuk nyata konsolidasi politik.
Aktivitas kedua, yaitu konsolidasi politik masyarakat Madinah yang masyarakatnya majemuk. Setelah Nabi Hijrah ke Madinah, masyarakat Madinahsecara umum di kategorisasikan menjadi empat golongan, yaitu kaum muslimin yang berhijrah dari makkah yang disebut kaum muhajirin; kaum muslimin yang merupakan penduduk asli madinah yang disebut kaum anshor; kaum atau komunitas yahudi serta kaum pagan atau badui madinah.
3.      Bukti sejarah 3 : piagam Madinah sebagai konstitusi Negara Madinah
Piagam madinah sebagai sebuah perjanjian luhur antar Nabi dengan seluruh penduduk Madinah yang majemuk oleh para pakar ilmu politik dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar bagi Negara Islam yang pertama dan yang didirikan Nabi di Madinah.[24]
Menurut Munawir Sjadzali (1993 : 15-16) isi kandungan piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah adalah : pertama, semua pemeluk islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas: kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas islam dan antara komunitas islam dengan komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut : (a) bertentangga baik; (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) membela mereka yang teraniyaya; (d) saling menasehati; dan (e) menghormati kebebasan beragama; ketiga, suatu hal yang patut dicatat bahwa piagam Madinah tidak menyebut agama Negara.
4.      Bukti sejarah 4 :Konsultasi publik : Kegemaran Nabi Bermusyawarah.
Dalam al-Qur’an ada dua ayat yang menyatakan pujian terhadap orang-orang yang melaksanakan musyawarah sebelum mengambil keputusan (QS. 42:38), dan perintah melaksanakan musyawarah (QS. 3:159). Dengan petunjuk dua ayat tersebut, nabi membudayakan musyawarah dikalangan sahabatnya.[25]
5.      Bukti sejarah 5 : Tugas pemerintahan : Fungsi Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif.
Praktek pemerintahan yang dilakukan Nabi sebagai kepala Negara tampak pula dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari.[26] Dalam piagam madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legeslatif, eksekutif dan yudikatif.
Praktek pemerintahan Nabi di bidang hukum adalah kedudukan beliau sebagai hakam untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat Madinah, dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian.
6.      bukti sejarah 6 : Hubungan Internasional.
Dalam praktek hubungan internasional, Nabi mengadakn hubungan dengan penguasa-penguasa yang ada di Jazirah Arab dengan mengutus utusan beliau mengirimkan surat-surat (diplomasi) kepada Kisar Romawi, Kaisar Persia, penguasa Mesir, penguasa Bahrain, penguasa Basroh dan sebagainya. Dengan adanya hubungan damai dan saling pengertian diharapkan para penguasa tersebut dapat menerima kehadiran islam di wilayah kekuasaan mereka. Ini dapat disebut sebagai “politik dakwah Nabi” dalam rangka syiar islam.
7.      Bukti sejarah 7 : Terpenuhunia Unsur-Unsur Negara.
Negara Madinah yang dipimpin Nabi dapat dikatakan sebagai negara, karena di pandang dari sudut politik, syarat berdirinya sebuah Negara itu mempunyai wilayah, penduduk dan pemerintahan.[27] (Budiardjo, 1989 : 44). Negara Madinah memenuhi syarat untuk disebut Negara, yaitu adanya wilayah, penduduk dan pemerintah yang berdaulat. Wilayahnya adalah Kota Madinah dan sekitarnya. Rakyatnya terdiri dari kaum muhajirin, kaum Anshar, kaum Yahudi dan sekutunya, kaum Badui (Arab pagan) yang menetap di kota Madinah. Sedangkan pemerintahan yang berdaulat di pegang oleh Nabi dan dibantu oleh para sahabat-sahabatnya. Undang-Undangnya berdasarkan Syariat Islam yang diwahyukan oleh Allah dan Sunah Rosul termasuk piagam madinah.
Dari beberapa bukti sejarah yang digambarkan diatas menunjukan baha nabi menjalankan tugas-tugas sebagai kepala Negara. hal ini juga diakui oleh Montgomery Watt (1964 : 225) yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad telah membentuk sebuah persekutuan masyarakat yang terdiri atas beberapa suku menjadi masyarakat politik sebagai rakyat Madinah dan Nabi sebagai pemimpinnya.
D.    Prinsip-Prinsip Dan Unsur-Unsur Kepemimpinan
1.      Beliau menomorsatukan fungsi sebagai landasan dalam memilih orang atau sesuatu, bukan penampilan atau faktor-faktor luar lainnya
Keempat sahabat yang dikenal sangat dekat dengan Beliau, yakni Abu Bakar Assidiq, Umar ibnu Khattab, Ustman ibnu Affan dan Ali ibnu Abi Tholib adalah gambaran jelas kemampuan Muhammad saw dalam melihat fungsi. Keempat sahabat tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri dalam era kepemimpinan Muhammad saw
2.      Beliau mengutamakan segi kemanfaatan daripada kesia-siaan
Tidak ada perkataan, perbuatan bahkan diamnya seorang Muhammad yang menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Pilihan terhadap kurma, madu, susu kambing dan air putih sebagai makanan yang bermanfaat untuk tubuh adalah salah satu contohnya. Bagaimana sukanya Muhammad terhadap orang yang bekerja keras dan memberikan manfaat terhadap orang banyak dan kebencian beliau terhadap orang yang menyusahkan dan merugikan orang lain adalah contoh yang lain.
3.      Beliau mendahulukan yang lebih mendesak daripada yang bisa ditunda
Ketika ada yang bertanya kepadanya, mana yang harus dipilih apakah menyelamatkan seorang anak yang sedang menghadapi bahaya atau meneruskan shalat, maka beliau menyuruh untuk membatalkan shalat dan menyelamatkan anak yang sedang menghadapi bahaya.
4.      Beliau lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri
Ketika datang wahyu untuk melakukan hijrah dari kota Makkah ke Madinah, Muhammad Saw baru berangkat ke Madinah setelah semua kaum Muslimin Makkah berangkat terlebih dulu. Padahal saat itu beliau terancam akan dibunuh, namun tetap mengutamakan keselamatan kaumnya yang lebih lemah.
5.      Beliau memilih jalan yang tersukar untuk dirinya dan termudah untuk umatnya
Apabila ada orang yang lebih memilih mempersulit diri sendiri dari pada mempersulit orang lain, maka dia adalah para Nabi dan Rasul. Begitu pun dengan Muhammad saw. Ketika orang lain disuruh mencari jalan yang termudah dalam beragama, maka Beliau memilih untuk mengurangi tidur, makan dan shalat sampai bengkak kakinya.
6.      Beliau lebih mendahulukan tujuan akhirat daripada maksud duniawi
Para Nabi dan Rasul adalah orang-orang terpilih sekaligus contoh teladan bagi kita.
E.     Faktor-Faktor Penyebab Keberhasilan
1)      Kesempurnaan islam dan komprehensitifitasnya
Islam adalah satu-satunya agama yang diridhoi Allah SWT.[28] Apabila ada keyakinan di luar Islam maka keyakinan itu tertolak dan tidak diridhoi Allah SWT. Islam juga adalah agama yang sempurna.[29] Dikatakan sempurna karena memang ajaran Islam mencakup berbagai sisi kehidupan. Islam memuat aspek hukum –halal-haram, mubah-makruh, fardhu-sunnah—juga menyangkut masalah akidah, ibadah, politik, ekonomi, perang, damai, perundangan, dan semua konsep hidup manusia.[30]
Islam adalah agama wahyu. Islam datang dari sisi Allah SWT. Apa-apa yang ada dalam ajaran Islam wajiblah dikerjakan karena memang kesemua itu bersumber dari sang Khalik. Kebenaran Islam yang bersifat Rabbany tidak disangkal lagi kebenarannya. Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS.61:9)
Islam bersifat komprehensif yakni menyeluruh. Maksud menyeluruh ini telah disebutkan diatas bahwa ajaran Islam itu mencakup berbagai sisi kehidupan. Islam memuat aspek hukum –halal-haram, mubah-makruh, fardhu-sunnah—juga menyangkut masalah akidah, ibadah, politik, ekonomi, perang, damai, perundangan, dan semua konsep hidup manusia.
2)      Kepribadian Rosulullah SAW dan ketauladannya
Rasulullah SAW adalah manusia teladan. Seyogyanya kita sebagai seorang muslim menjadikan beliau idola. Kita juga harus selalu berusaha mencontoh kepribadian yang baik yang ada dalam dirinya. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. [QS. Al Ahzab/33:21]
Rasulullah SAW tidak pernah cacat di masyarakatnya. Selain karena terlahir dari keluarga mulia, Nabi Muhammad SAW juga selalu dikenal hanya mengerjakan perbuatan yang mulia saja. Beliau memiliki prestasi yang diakui oleh ummatnya sejak usia belia.[31]
3)      Kebersamaan Allah dan pertolongan-Nya
Faktor kesempurnaan Islam dan kepribadian Rasulullah SAW memungkinkan lahirnya faktor utama yang ketiga yaitu faktor “kebersamaan Allah SWT dan pertolongan-Nya” yang memang hal itu telah menjadi janji Allah SWT yang tertulis dalam Al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu..” [QS. Muhammad/47:7]
F.      Dasar Atau Dalil Fikih Siyasah Dalam Al-Quran
Dalil fikih siyasah:
a.       Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an (Q.S. AL-Mukminun:52) Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.
b.      Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah. Al-qu’an mengisyaratkan bahwa umat Islam terkait keharusan menyelesaikan persoalan. (Q.S. asy-Syuro: 38) Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka
c.       Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, sebagaimana tertuang dalam Q.S. an-Nisa: 58
d.      Kemestian  menaati Allah dan Rasulullah, dan ulil amri (pemegang kekuasaan). (Q.S An-Nisa:59) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
e.       Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S. al-Hujurat:9) Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
f.       Kemestian mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi dan infasi (Q.S. al-Baqarah: 190) Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu
g.      Kemestian mementigkan perdamaian dari pada permusuhan (Q.S al-Anfal: 61) Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
h.      Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. al-Anfal: 60) Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
i.        Keharusan menepati janji (Q.S. an-Nahl:91) Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)
j.        Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat: 13)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
k.      Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr: 7)
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu
Dasar Siyasah dalam al-Hadits
a.      Keharusan mengangkat pemimpin
عن ابى هر يرة قال النبى صلى الله عليه وسلم : اذا خرج ثلا ثة فى السفر فا ليؤ
مروااحمدهم(رواهبوداود)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin diantara mereka.”
b.      Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
عن عبد الله بن عمرو ان النبى صلى الله عليه وسلم قا ل : كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته ولا ما م على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته والر جا ل راع على اهل بية وهو مسؤل عنهم (متفق عليه)
“Dari Ibnu Umar r.a., bersabda Nabi SAW, setiap kamu itu adalah pamimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya”
c.       Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
عن عوف بن ما لك عن النبى صلى ا لله عليه وسلم قا ل : خيا ر ائمتكم الذين تحبو نهم ويحبو نكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرائر ائمتكم الذين تبغضو نهم ويبغونكم تلعنو نهم ويلعنو نكم (رواه مسلم)
“Dari Auf bin Malik, telah bersabda Rasulullah SAW, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.”
d.      Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai; tidak  hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : انما الا ما م جنة يقاتل من ورائه ويتقى به فا ذا امر بالتقو ى الله عز وجل وعد  كان له بذ لك اجر وان يامر بغيره كان عليه منه (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya pemimpin itu ibarat perisai yang dibaliknya digunakan berperang dan berlindung. Apabila pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan dasar selain itu, maka dosanya akan dibalas.”
e.       Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah dalam kehidupan akhirat
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : سبعة يظلهم ا لله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل (متفق عليه)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil…”










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ketatanegaraan Zaman Nabi Muhammad SAW
1.      Islam Periode Makkah
2.      Islam Periode Madinah
3.      Nabi Muhammad, Piagam Madinah, dan Negara Islam
Praktek Ketatanegaraan Zaman Nabi Muhammad SAW meliputi bukti-bukti sejarah dalam masa Kenabin Muhammad saw:
1.      Bukti sejarah 1 : Baiat Aqobah 1 dan II
2.      Bukti sejarah 2 : Hijrah dari Mekah kemadinah sebagai strategi konsolidasi politik
3.      Bukti sejarah 3 : piagam Madinah sebagai konstitusi Negara Madinah
4.      Bukti sejarah 4 :Konsultasi publik : Kegemaran Nabi Bermusyawarah.
5.      Bukti sejarah 5 : Tugas pemerintahan : Fungsi Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif.
6.      bukti sejarah 6 : Hubungan Internasional.
7.      Bukti sejarah 7 : Terpenuhunia Unsur-Unsur Negara
Prinsip-Prinsip Dan Unsur-Unsur Kepemimpinan
a.       Beliau menomorsatukan fungsi sebagai landasan dalam memilih orang atau sesuatu, bukan penampilan atau faktor-faktor luar lainnya
b.      Beliau mengutamakan segi kemanfaatan daripada kesia-siaan
c.       Beliau mendahulukan yang lebih mendesak daripada yang bisa ditunda
d.      Beliau lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri
e.       Beliau memilih jalan yang tersukar untuk dirinya dan termudah untuk umatnya
f.       Beliau lebih mendahulukan tujuan akhirat daripada maksud duniawi
Faktor-Faktor Penyebab Keberhasilan
1.      Kesempurnaan islam dan komprehensitifitasnya
2.      Kepribadian Rasul Saw dan ketauladannya
3.      Kebersamaan Allah dan Pertolongan-Nya

B.     Kritik dan Saran
Kritik dan saran yang mendukung sangat dibutuhkan penulisdalam memperbaiki makalh ini, karena penulis tahu bahwa dalam penulisan makalah ini banyak sekali terdapat kesalahan dan kekurangan dan jauh sekali dari kata sempurna.




[1] [1] Ridwan HR, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007), hlm.112
[2] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media,  2003),  hlm. 20
[3] Ibid,hlm. 21-22
[4] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 41
[5] Ridwan HR, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007), hlm. 112
[6] Ridwan HR, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007), hlm. 113
[7] Ibid, hlm.114
[8] Ridwan HR, Fiqih politik, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007), hlm. 115
[9] Ibid, hlm. 121
[10] Ibid, hlm.122
[11] Ibid, hlm.123
[12] Ibid, hlm.125
[13] Ridwan HR, Fiqih politik, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007), hlm. 127
[14] Ibid, hlm. 131
[15] Ibid, hlm. 133
[16]Ibid, hlm. 134
[17] Ibid, hlm. 135
[18] Ibid,hlm.136
[19] Ridwan HR, Fiqih politik, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007), hlm. 137
[20] Ibid, hlm. 138
[21] Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhmmad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 43
[22] Nur Syamsudin, Fiqh siyasah, (Semarang: CV Karya Abadi  Jaya, 2015), hlm. 1
[23] Ibid, hlm. 4
[24] Nur Syamsudin, Fiqh siyasah, (Semarang:CV Karya Abadi  Jaya, 2015), hlm. 7
[25] Ibid, hlm. 10
[26] Nur Syamsudin, Fiqh siyasah, (Semarang: CV Karya Abadi  Jaya, 2015), hlm. 12
[27] Ibid, hlm. 14
[28] Q.S Al-Imron ayat 19
[29] Q.S. Al-maidah ayat  3
[31] Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,  2007), hlm.39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar