SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
A.
Pengertian Tasawuf
Kata
tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih. Dinamakan shufi karena
hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Teori lain mengatakan bahwa kata
tersebut diambil dari kata Shuffah yang berarti serambi Masjid Nabawi di
Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan
Muhajirin. Mereka disebut ahl as-shuffah yang sungguh pun miskin namun berhati
mulia dan memang sifat tidak mementingkan kepentingan dunia dan berhati mulia
adalah sifat-sifat kaum sufi/ teori lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil
dari kata suf yaitu kain yang dibuat dari bulu atau wool, dan kaum sufi memilih
memakai wool yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
Dari
berbagai teori di atas, tampak bisa dipahami bahwa sufi dapat dihubungkan
dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah. Teori yang
menghubungkan orang yang menjalani kehidupan tasawuf dengan orang yang berada
di serambi masjid dan bulu domba merupakan tinjauan aspek lahiriyah dari shufi.
Ia dianggap sebagai orang yang telah meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan
menggunakan benda-benda di dunia hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari
kepanasan, kedinginan dan kelaparan. Sedangkan teori yang melihat sufi sebagai
orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih memberatkan pada
aspek bathiniyah.
Tasawuf
sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bertujuan untuk memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan
cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan
itu dapat mengambil bentuk ijtihad atau menyatu dengan Tuhan.
Dalam
ajaran tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat berada dekat dengan Tuhan,
melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh latihan tertentu. Ia misalnya harus
menempuh beberapa maqam (stasiun), yaitu disiplin kerohanian yang ditujukan
oleh seorang calon sufi dalam bentuk berbagai pengalaman yang dirasakan dan
diperoleh melalui usaha-usaha tertentu.
Mengenai
jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh para sufi berbeda-beda sesuai dengan
pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi misalnya,
mengemukakan beberapa mawamat, yaitu : taubat, zuhud, sabar, al-faqr,
al-tawadlu’, taqwa, tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, al-ma’rifat dan kerelaan
hati.
B. Asal-Usul Tasawuf
Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar yang masuk ke dalam
Islam. Sebagian penulis misalnya ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal
dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan material.
Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf timbul atas pengaruh ajaran Hindu dan
disebutkan pula bahwa ajaran tasawuf berasal dari filsafat Phytagoras dengan
ajaran-ajarannya yang meninggalkan kehidupan material dan memasuki kehidupan
kontemplasi. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam Islam karena pengaruh
filsafat Plotinus. Disebutkan bahwa menurut filsafat emanasi Plotinus bahwa roh
memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Tetapi dengan
masuknya roh ke alam materi, ia menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke
tempat Yang Maha Suci, terlebih dahulu ia harus disucikan. Tuhan Maha Suci dan
Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian roh
ini terjadi dengan meninggalkan hidup kematerian, dan dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan sedekat mungkin dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan
semasih berada dalam hidup ini.
Namun
demikian, terlepas atau tidak adanya pengaruh dari luar itu, yang jelas bahwa
dalam sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan hadist terdapat ajaran yang dapat
membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang
merupakan ajaran dalam mistisisme ternyata ada di dalam Al-Qur’an dan hadist.
Ayat
186 Surat Al-Baqarah misalnya menyatakan :
وَاِذَى سَاَلكَ عِبَادِى عَنِّيْ فَاِنـّيْ قَرِ
يْبٌ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَادَعَانِ
Artinya
:
“Jika
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku” (QS. Al-Baqarah : 186)
Kata
دعا
yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti
yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka
panggil dan Tuhan memperhatikan diri-Nya kepada mereka.
Ayat
115 juga Surat Al-Baqarah juga menyatakan :
وَلله المْشْرِقُ وَالمغَرِبُ فَايَنْمَاَتوَ لوُّا فَثمَّ وَجْهُ الله
Artinya
:
“Timur
dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ (kamu
jumpai) wajah Tuhan”.
Bagi
kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada dan dapat
dijumpai.
Selanjutnya
dalam hadits dinyatakan :
مَنْ عَرَ فَ نـَفْسَهُ فَقَدْ عَرَف
َالله
Artinya
:
“Siapa
yang kenal pada dirinya, pasti kenal kepada Tuhan”
Hadits
lain juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi
yang artinya :
“Aku
pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka
Kuciptakanlah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku”
Menurut
hadits ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang
lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.
Tahanuts
yang dilakukan Nabi Muhammad Saw di Gua Hira merupakan cahaya pertama dan utama
bagi nur tasawuf, karena itulah benih pertama bagi kehidupan rohaniah. Di dalam
mengingat Allah serta memuja-Nya di Gua Hira, putuslah ingatan dan tali rasa
beliau dengan segala makhluk lainnya. Di situ pula berawalnya Nabi Muhammad
mendapat hidayah, membersihkan diri dan mensucikan jiwa dari noda-noda penyakit
yang menghinggapi sukma, bahkan sewaktu itu pulalah berpuncaknya kebesaran,
kesempurnaan, dan kemuliaan jiwa Muhammad Saw. dan membedakan beliau dari
kebiasaan hidup manusia biasa.
Fakta
sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya, segenap peri kehidupan beliau
menjadi tumpuan masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun pada dirinya,
bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya kendatipun
diminum oleh semua makhluk yang memerlukan air. Amal ibadah beliau tiada tara
bandingannya. Dalam sehari semalam Rasulullah minimal membaca istighfar minimal
70 kali, shalat fardhu, rawatib serta shalat dhuha yang tidak kurang dari
delapan rakaat setiap hari. Shalat tahajjud beliau tidak lebih dari sebelas
rakaat, dan lama sujudnya sama dengan lamanya sahabat membaca lima puluh ayat.
Shalat beliau yang khusuk dan tuma’ninah amat sempurna. Dalam berdoa, perasaan
khauf dan raja’ selalu dinampakkan Rasulullah dengan tangis dan sedu sedannya.
Masih
banyak lagi amalan Rasulullah yang menunjukkan ketasawufannya. Apa yang
dikemukakan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa amalan tasawuf ternyata
sudah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw.
Pola
hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi
para sahabatnya, baik bagi sahabat dekat maupun sahabat yang jauh. Tumpuan
perhatian mereka senantiasa ditujukan untuk mengetahui segala sifat, sikap dan
tindakan Rasulullah, sehingga para sahabat tersebut dapat pula memantulkan
cahaya yang mereka terima kepada orang yang ada di sekitarnya dan generasi
selanjutnya. Amalan tasawuf sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah itu juga
diikuti oleh para sahabatnya.
Abu
Bakar Ash-Shiddieq misalnya, pernah hidup dengan sehelai kain saja. Dalam
beribadat kepada Allah Swt. karena khusu dan tawadhu’nya sampai dari mulutnya
tercium bau limpanya, karena terbakar oleh rasa takut kepada Allah. Pada malam
hari ia beribadat dengan membaca Al-Qur’an sepanjang malam.
Umar
bin Khattab dikenal dengan keadilan dan amanahnya yang luar biasa. Ia pernah
berpidato di hadapan orang banyak, sedangkan di dalam pakaiannya terdapat dua
belas tambalan dan dia tidak memiliki kain yang lainnya.
Usman
bin Affan dikenal sebagai orang yang tekun beribadah dan pemalu, dan meskipun
ia juga dikenal sebagai seorang sahabat yang tekun mencari rezeki, tetapi iapun
terkenal sebagai pemurah, sehingga tidak sedikit kekayaannya digunakan untuk
menolong perjuangan Islam.
Sahabat
selanjutnya adalah Ali bin Abi Thalib yang tidak peduli terhadap pakaiannya
yang robek dan menjahitnya sendiri.
Beberapa
tokoh besar dalam sufi adalah : Rabi’ah al-Adawiyah, Zunnun al-Misri, Abu Yazid
al-Bustami, Husein bin Mansur al-Hajjaj, dan Al-Ghazali.
Demikian
fakta sejarah berbicara tentang kehidupan yang dipraktekkan oleh orang-orang
yang bertasawuf, meninggalkan kemegahan dunia dan hanya mengabdikan diri untuk
akhiratnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar